Membiasakan Budaya Ilmiah

Saya teringat sekitar kurang lebih 4 atau 5 tahun lalu. Ketika itu saya mengajukan usul kepada salah seorang kolega agar sekolah membuat kegiatan semacam science project untuk siswa yang nanti hasilnya dipresentasikan di depan guru-guru atau orangtua. Kalau di bidang non akademik (seni, bahasa dan olahraga), sudah ada programnya yaitu AKBARI (Ajang Kreasi Barudak Muthahhari). Nah, dari sisi akademis belum ada. Namun, usulan saya waktu itu belum direspon. Untungnya ada guru BK yang selalu menyemangati dan mendorong saya untuk tidak patah semangat.

Akhirnya, karena semangat untuk melakukan sesuatu yang berbeda, saya memulainya di kelas saya sendiri. Waktu itu kelas XII IPA hanya ada satu kelas. Saya minta mereka melakukan ujian praktek Biologi dengan melakukan beberapa eksperimen sederhana dalam kelompok kecil. Penilaian tidak sampai pada melakukan eksperimen, tetapi hingga mengkomunikasikan hasilnya. Maka disusunlah jadual sendiri untuk melakukan semacam ‘sidang’ kecil-kecilan untuk mempresentasikan hasil eksperimen mereka (lihat tulisan “Pembelajaran Berbasis Proyek, Alternatif Ujian Praktik..”). Dengan dibantu oleh guru Biologi kelas X waktu itu, kami berdua melakukan ‘pengujian’ dengan penilaian berdasarkan kriteria-kriteria tertentu.

Alhamdulillah, setelah Ujian Praktik Biologi berbasis proyek itu dilakukan, usulan yang tadinya dianggap sebagai sesuatu yang ‘mustahil’ sekarang dibuat menjadi program sekolah sebagai salah satu syarat kelulusan siswa, yaitu membuat Karya Tulis Ilmiah (KTI).

Sekarang, di jajaran pendidikan tinggi ada perbincangan ‘yang cukup hangat’ dengan keluarnya surat edaran bernomor 152/E/T/2012 terkait publikasi karya ilmiah. Alasan dikeluarkannya surat itu karena jumlah karya ilmiah perguruan tinggi di Indonesia masih sangat rendah. Bahkan, hanya sepertujuh dari jumlah karya ilmiah perguruan tinggi di Malaysia (sumber: Kompas.com). Diantara bunyi ketentuan itu adalah:

1. Untuk lulus program Sarjana harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah.
2. Untuk lulus program Magister harus telah menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional, diutamakan yang terakreditasi Dikti.
3. Untuk lulus program Doktor harus telah menghasilkan makalah yang diterima untuk terbit pada jurnal internasional.

Saya pikir membiasakan berbudaya ilmiah itu harus dimulai sejak dini, sejak usia TK/SD. Lalu, mengapa karya ilmiah Indonesia jumlahnya sangat rendah? Saya berpikir, salah satu jawabannya terletak pada budaya pendidikan di negeri ini, budaya pendidikan yang berorientasi pada skor-tes sehingga tidak mampu mengasah keterampilan berpikir dan kreativitas pelajar. Padahal menurut penuturan William K. Lim dari Universiti Malaysia Sarawak, kedua kemampuan itulah yang menjadi dasar untuk bisa menjadi ilmuwan yang berhasil.

Kembali kepada KTI yang diselenggarakan di sekolah kami.
Sidang KTI yang dilakukan setelah siswa melakukan kegiatan ilmiahnya ternyata bisa menjadi bagian dari kurikulum pendidikan karakter. Kegiatan ilmiah sebelum (mengkaji, meneliti, dsbnya) maupun sesudahnya (sidang KTI), kami para guru dapat melihat karakter sesungguhnya dari para siswa itu. Kejujuran, tanggungjawab, kerja keras, rasa ingin tahu, dan sejumlah karakter lainnya dapat dilihat pada masing-masing siswa.

Untuk KTI tahun pelajaran 2011/2012 ini, banyak karya siswa yang menurut saya bagus dan bermanfaat untuk disosialisasikan hasilnya. Diantara mereka ada yang melakukan kritis hadis dengan metode takhrij hadis tentang perintah membunuh cecak, melakukan studi kasus di rumah penyandang cacat tunanetra tentang pengaruh musik terhadap semangat hidup, melakukan studi tentang kandungan formalin pada mie basah dan borak pada bakso, meneliti pengaruh konsumsi labu kuning terhadap penderita penyakit maag, dan masih banyak lagi.

Walhasil, saya berpendapat, kita tidak perlu gelisah berlebihan dengan keluarnya surat edaran tersebut di atas. Pembenahan budaya pendidikan yang berorientasi skor-tes menjadi orientasi kritis-ilmiah, tidak bisa dilakukan secara instan. Benahi budaya pendidikan secara bersama-sama dan berkesinambungan…

Salam,
Rika WS.